TARI PETRUK


Petruk adalah took punakawan dalam pewayangan jawa, di pihak keturunan/trah witradatya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab mahabarata dari india. Keberadaan tokoh ini dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli masyarakat jawa. Di ranah pasundan (Jawa Barat), tokoh Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.

                         
Kisah
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng. Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Bambang Lengkungkusuma.
Dalam cerita Gareng Dadi Ratu, sebagai syarat jika Petruk berhasil mengalahkan Prabu

Pandupragolamanik (yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, Nala Gareng), ia meminta imbalan berupa "anak ayam cemani" kepada Kresna. Hadiah ini terwujud dalam cerita Petruk Nagih Janji, di mana dengan susah payah ia berhasil mengalahkan saingan berat dari Astina, yaitu Lesmana Mandrakumara, dan berhasil pula memperistri salah satu putri Kresna yang bernama Dewi Prantawati


PETRUK DALAM LAKON PEWAYANGAN
Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan kapaknya), Petruk terdapat dari kata "FAT RUK" yang artinya tinggalkanlah, kata fatruk sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya tinggalkanlah segala yang dilarang Allah SWT, nama ini memang diambil oleh pujangga Jawa dan sunan kalijaga,sebenarnya punakawan dulu diciptakan asli oleh sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam, dan Bathara-bathari(dewa dan dewi) disini hanya di hormati saja seperti menghormati orang tua bukan disembah itulah keistimewaan wayang Jawa,dalam Islam wayang jawa adalah media islam dan itulah peran punakawan yaitu penyebar agama Islam dan dalam pewayangan juga menjadi abadinya Pandawa.
Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa
Hubungan dengan punakawan lainnya                                                       
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.


Petruk dan Wayang Jawa
Petruk merupakan salah satu tokoh fiksi dalam dunia pewayangan Jawa. Bersama tokoh lainnya, Gareng, Bagong dan Semar, Petruk disebut dengan PunakawanPunakawan sendiri berasal dari kata Puna yang berarti ‘paham’ dan Kawan yang berarti teman. Dalam dunia perwayangan, Punakawan diidentikkan dengan sosok abdi atau suruhan dari seorang raja. Punakawan tidak hanya sekedar menjadi abdi atau suruhan raja semata, namun juga menjadi kelompok penebar humor, mencairkan suasana hingga memahami apa yang sedang menimpa majikan atau raja mereka. Bahkan punkawan juga dapat menjadi penasehat raja dan ksatria saat lupa diri.
Layaknya dua kutub dalam kehidupan yakni baik dan buruk, punkawan pun demikian. Ada punkawan kanan yang disebut Prepat (Gareng, Petruk, Bagong, dan Semar) berugas membimbing raja mereka kearah yang baik. Punakawan kiri atau Kiwa adalah Punakawan berawatak angkara murka yang menebar kebencian seperti Togog dan Bilung. Kedua kelompok Punakawan membuat strategi mereka dalam mempengaruhi seorang raja atau majikan mereka.
Hal yang lumrah dalam dunia nyata, selalu ada kelompok ‘pembisik’. Akan selalu ada orang yang berwatak licik guna kepentingan sendiri dan kelompoknya. Namun, disisi lain ada pula kelompok dengan perawakan jenaka, kurang memiliki prejengan atau tampang menjadi pemimpin menjadi penasihat dengan membawa hal baik bagi kepentingan bersama, kepentingan rakyat atau istilah Jawanya yang dipakai dalam dunia pewayangan adalah sikap ‘Memayu Hayuning Bawono’.
Dibalik atribusinya sebagai tokoh jenaka dalam dunia pewayangan, Petruk bersama tokoh Punkawan Prepat lain (Gareng, Semar, dan Bagong) dikenal pula sebagai tokoh yang tak dapat disangka-sangka pemikirannya. Orang menganggap Petruk sebagai seorang abdi yang bodoh dan tak tahu apa-apa. Petruk seringkali memberikan petuah bijak, terutama dalam hal kepemimpinan politik saat negeri kahyangan mengalami gara-gara (kekacauan).
Petruk memang tokoh fiksi, namun Petruk sebagai refleksi dalam ranah kebudayaan tergolong dalam Cultural Morphology sebagaimana dikemukakan Johan Huizinga yang dikutip oleh Kuntowijoyo. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

alat musik kecrek

TARI SRIKANDI

wayang orang ngesti pandawa