TOKOH WAYANG YUDHISTIRA
PRABU YUDHISTIRA menurut
cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman
yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker.
Ia mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ; Arya Danduwacana, yang
menguasai kesatrian Jodipati dan Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian
Madukara. Prabu Yudhistira juga mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ;
Ditya Sapujagad bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di
kesatrian Baweratalun.
Prabu Yudhistira
menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala, raja jin negara Madukara
dengan permaisuri Dewi Sumirat. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang
putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi istri Arjuna.
Ketika hutan Mertani
berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton
milik Arjuna pemberian Bagawan Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan
Pringcendani. Prabu Yudhistira kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa,
sulung Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti. Ia kemudian menjelma/
menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu Yudhistira.
Prabu Yudhistira terlahir dengan nama aslinya Puntadewa yang
berarti memiliki derajat keluhuran yang setara dengan para dewa. Sedangkan
sebutan atau julukan lain Puntadewa atau Yudhistira adalah Ajatasaru, Bharata, Dharmawangsa,
Kurumukhya, Kurupati, Pandawa, Partha, Gunatalikrama dan Samiaji. Puntadewa
alias Yudhistira ini merupakan anak sulung dari Raja Pandu dan Dewi Kunti,
namun bisa disebut juga merupakan anak kedua dari Kunti karena anak pertamanya
yang bernama Karna, dia diasuh oleh Adirata.
Dalam kisah disebutkan bahwa Yudhistira merupakan titisan Dewa
Yama atau Dharma karena ulah Pandu yang salah sasaran sewaktu akan memanah
seekor rusa sehingga menerima kutukan sebelum dia sempat bercinta dengan
istrinya. Pandu dikenal sebagai orang yang adil, jujur, sabar, relijius,
percaya diri dan berani berspekulasi. Dalam perjalanan hidupnya Yudhistira
hampir tidak memiliki musuh, karena memiliki sifat yang sangat bijaksana dan
tidak pernah berdusta.
Hal ini pula yang akhirnya dimanfaatkan oleh Sangkuni ketika
merayunya untuk berjudi dadu, yang menyebabkan kekalahan besar di pihak Pandawa
dan merubah kisah Mahabharata menjadi sebuah cerita yang menegangkan dan penuh
konflik. Keahlian Yudhistira adalah menggunakan tombak, sebagaimana diajarkan
oleh Resi Druna (Dorna) dan dalam budaya Jawa, Yudhistira dikenal memiliki
beberapa pusaka yaitu Jamus Kalimasada, Tunggulnaga dan Robyong
Mustikawarih. Salah satu kebiasaan buruk dari Yudhistira adalah senang
bermain permainan dadu.
Raden Puntadewa adalah putra sulung dari
Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan
putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi
Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu
putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan
kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.
Secara resmi memang Puntadewa adalah
putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti
dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh kutukan yang
diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud
kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih
dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa
bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu.
Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan
Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama
lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama
13 tahun di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari
Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang
Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.
Raden Puntadewa memiliki watak sadu
(suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak
suka marah meskipun harga dirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para
dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama
Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati
dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melalui
ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam
kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang
didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan
Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan
Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat
muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan
disaksikan oleh ketua-ketua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni,
Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar
kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra
mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka
kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk
menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale
Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun.
Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan
buruk yaitu suka berjudi.
Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini
menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan
sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang
perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang
Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya
hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan,
istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa
(Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang
berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin
yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka
selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para ketua Astinapura turun tangan
dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama
Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura.
Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang
megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga
sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang
berdarah putih. Sejak saat itu pula lah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil
lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana
(semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari
Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat para
Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa
membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa
saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowongan yang diiringi oleh garangan
putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana
Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan
sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil
mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam
sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk
diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan
Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon
beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga
tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama
Pancawala.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah
kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari
Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu
lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali
terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak
ada yang kembali. Akhirnya menyusul lah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia
melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang
Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari
telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah
apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki
tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup
berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup
berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk
membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada
Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah
yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia
minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa
adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti
ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan
Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas
dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah
menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk
dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula.
Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak
pilih kasih.
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus
menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun
sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai
terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum
dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga
ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa
menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana
Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi
raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan
dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang,
Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan
Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya
menyentuh kalung ini makan seketika itu pula lah, ia dapat berubah menjadi
raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat
meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi
Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus
Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara,
adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja
Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa
menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.
Pada Perang besar Baratayuda
Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja
dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh
Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat
perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang
mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh.
Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama,
seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!”
menjadi bingung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju
pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa,
seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas
anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama
(dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah
panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah
tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat
Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran
bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara
setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap
setengah-setengah tersebut pula lah yang mangakibatkan kematian guru besar
Astina tersebut.
sumber :
(https://tokohpewayanganjawa.blogspot.com/2014/06/yudhistira.html)
(https://wayangku.id/nama-tokoh-wayang-yudhistira-sulung-pandawa/)
(https://caritawayang.blogspot.com/2012/06/puntadewa-yudistira.html)
Komentar
Posting Komentar