PENGELOMPOKAN TARI (BERPASANGAN / SOLO)
Tari
kelompok adalah bentuk tarian yang ditarikan secara kelompok atau
berpasang-pasangan dan tidak menutup kemungkinan bisa berbentuk drama
tari/sendratari. Jenis tariannya dapat berupa tari tunggal atau tari berpasangan
yang ditarikan secara berkelompok. Adapun gerakannya terdiri atas gerak seluruh
anggota badan dan kaki, badan, lengan, sampai kepala.
Oleh
karena ditarikan secara berkelompok maka peragaan geraknya haruslah kompak,
serempak, serta saling mengisi dan melengkapi sehingga dibutuhkan kerja sama,
kebersamaan, dan tanggung jawab dari seluruh penari yang terlibat.
Tari
ini dibagi menjadi dua, yaitu tari kelompok putri dan tari kelompok pura gagah.
Berikut ini contoh tari kelompok :
Tari Arjuna Wiwaha
Kisah “Arjuna Wiwaha” sepintas
hanyalah sebagai cerita biasa yang menarik. Namun kalau dirasakan dengan
menafsirkan simbol simbolnya sebenarnya memuat kedalaman ajaran yoga yang luar biasa. Jika “Dewa Ruci” hanya memberikan
ajaran secara “garis besar”, akan tetapi “Arjuna Wiwaha” menerangkan secara
detail, yaitu menaklukkan cakra-cakra yang ada pada manusia, yang jumlahnya
sebanyak 7 cakra. Tariain berasal dari Jogjakarta, Jawa Tengah.
Dimulai dari: 1. godaan 7
bidadari, 2. perbantahan dengan reshi Padya, 3. membunuh babi, 4. perang
melawan pemburu, 5. belajar tari, 6. menebas ujung lidah, 7. akhirnya mendapat senjata Pasopati dan kawin dengan Dewi
Supraba. Keseluruhan ceritera menggambarkan betapa Arjuna telah
mampu mengendalikan nafsu-nafsunya, baik yang bersumber dari jasmani maupun
rohani.
Penebasan ujung lidah Niwata Kawaca yang sakti berarti Arjuna telah
membuang keangkuhannya, yang bersumber dari fikiran dan ucapan. Setelah itu
Arjuna mendapatkan “pasopati” berarti “dilukat”,
jiwanya dibersihkan hingga menjadi “kosong”. Pada saat itulah ia wiwaha
atau “kawin” dengan “Su-praba”. “Su” artinya sangat indah
(linuwih) sedang “praba” berarti cahaya. Artinya Arjuna berhasil menyatu dengan
“Sang Maha Cahaya”. Atau “Cahya linuwih” atau “Jumbuh Kawula lan Gusti”.
Tujuan orang beragama adalah mencari kebahagiaan lahir batin. Sedangkan
tujuan “memuja” atau “bersembahyang” adalah mencari
ketenangan dan kedamaian batin, “Yoga” adalah sembahyang tingkat tinggi, dengan
pengerahan energi diri untuk “mengosongkan” diri, untuk itu perlu kosentrasi
secara penuh. Tanpa gangguan dari luar maupun dari dalam. Berdasar uraian
di atas jelaslah bahwa kebersihan batin merupakan syarat mutlak bagi seseorang
bergelut di bidang spiritual dan lebih-lebih persemadian.
Seseorang yang berperilaku baik jiwanya
selalu bersih, dan tanpa beban, hingga membantu proses konsentrasi ketika
mengawali persamadhian. Tidak ada gangguan dari dalam. Itulah sebabnya “moral”
penting dan menjadi “ukuran kedewasaan seseorang”. Moral bisa terjaga apabila
telah mampu menjauhkan diri dari “keduniawian”. Biasanya hal demikian bisa
dicapai bila orang sudah dewasa, bila telah cukup umur. Tarian ArjunaWiwaha adalah salah satu
tarian tradisional yang dipentaskan di Keraton Yogyakarta. Tari Arjuna Wiwaha
menceritakan ketika Arjuna yang bertapa di Indrakila mengalami berbagai macam
godaan.
Salah satu godaannya
adalah ketika Ia diuji oleh para Dewa dengan mengirim tujuh orang bidadari yang
diperintahkan untuk menggoda Arjuna agar gagal dalam pertapaannya. Namun karena
keteguhan hatinya, para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Indra
datang sendiri menyamar menjadi seorang Brahmana tua. Mereka berdiskusi soal
agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi.
Lalu setelah itu ada
seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang
bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata
pemburu ini adalah Batara Siwa.
Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh
Niwatakawaca seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam
tugasnya dan diberi anugerah oleh para Dewa dengan diperbolehkan mengawini
tujuh bidadari ini.
Menonton pertunjukan tari di Keraton
Yogyakarta mampu menghipnotis para penontonnya. Selama 2 jam penonton dengan
sukarela duduk diam terhipnotis di kursi masing-masing menyaksikan pertunjukan
tarian asli Jogja, yaitu Tari Golek Ayun-Ayun, Tari Beksan Srikandi
Suradewati, dan Tari Arjuna Wiwaha.
Tarian
ini merupakan salah satu ciptaan Alm. KRT Sasmita Dipura (Romo Sas).
Biasanya keluarga keraton menampilkan tarian ini untuk menyambut tamu
kehormatan.
Dua orang penari yang
membawakan Tarian Golek Ayun-Ayun menggerakan tubuhnya dengan sangat lembut dan
penuh makna. Seolah sang penari menunjukan pada penonton bahwa mereka sedang
bersolek. Gerakan lainnya juga memperlihatkan seolah ia tengah menyulam.
Gerakannya benar-benar anggun dan gemulai tak ada sedikitpun terlihat kaku.
Memadankan balutan
baju beludru hitam dengan bawahan kain batik putih menjadi pemandangan yang
sangat serasi. Mahkota merak bersayap merah muda sangat mempercantik penampilan
sang penari.
Ternyata, setiap
pertunjukan penari menampilkan lebih dari satu penampilan. Pada penampilam yang
kedua, penari mempertunjukan Tari Beksan Srikandi Suradewati. Tari Beksan ini
menceritakan tentang peperangan Dewi Suradewati dengan Dewi Srikandhi yang
diambil dari serat Mahabaratha.
Suradewati adalah adik
Prabhu Dasalengkara yang ingin menjadikan Dewi Siti Sendari sebagai istrinya.
Sang Prabhu Dasalengkara mengutus Suradewati untuk melamarkan Dewi Siti
Sendari. Pada kenyataannya Dewi Siti Sendari telah dijodohkan dengan Raden
Abimanyu. Melihat kenyataan seperti ini, Suradewati tetap memaksa untuk
menyunting Dewi Siti Sendari maka terjadilah perseteruan antara Suradewati
melawan Dewi Srikandhi yang membela Raden Abimanyu. Dalam peperangan, ternyata
Dewi Srikandhi lebih unggul dan berakhir dengan kemenangannya.
Dua tarian berlalu
dengan sangat apik dan cantik. Selanjutnya pertunjukan kembali dilanjutkan
dengan penampilan Tari Arjuna Wiwaha. Tarian ini menceritakan tentang pertapaan
Arjuna di Indrakila yang mengalami berbagai macam godaan. Para dewa menguji
dirinya dengan mengirim tujuh orang bidadari untuk menggoda Arjuna. Namun,
keteguhan hati Arjuna yang bersunguh-sungguh, para bidadari pun tidak berhasil
menggoda Arjuna.
Oleh sebab itu, Batara
Indra memutuskan untuk datang sendiri menyamar menjadi seorang Brahmana tua.
Selanjutnya, mereka pun berdiskusi soal agama. Setelah kejadian tersebut,
tiba-tiba ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Namun,
pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga
memanahnya. Dan, ternyata pemburu ini adalah Batara Siwa. Setelah berhasil
melakukan semua tugasnya, para dewa memberikan anugerah pada Arjuna, yaitu
memperbolehkan dirinya untuk mengawini ketujuh bidadari ini.
Keindahan gerak,
busana, alunan musik yang merdu, serta jalan cerita yang menarik menjadikan
kharisma dari ketiga tarian ini. Tak heran bila penonton yang menyaksikan
pertunjukan ini betah berlama-lama duduk manis hingga pertunjukan selesai.
Bila Anda
berkesempatan ke Yogyakarta jangan lupa mampir ke Keraton Yogyakarta untuk
menyaksikan langsung ketiga tarian ini. Anda bisa menyaksikan pertunjukan ini
setiap hari Minggu di Pendapa (Bangsal) Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, mulai
pukul 10.00 WIB sampai 12.00 WIB. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
mencintai dan melestarikan budaya bangsa. Kini saatnya kita mencintai
keanekaragaman seni budaya bangsa sendiri yaitu seni bangsa Indonesia yang
harus tetap di lestarikan agar tidak di akui oleh bangsa asing.
Komentar
Posting Komentar