Durasi tarian wayang wong
DURASI TARIAN
Penonton sekarang akan bosan jika melihat pertunjukan wayang
orang dengan durasi waktu yang lama Pagelaran wayang pada Durasi
pertunjukan wayang orang merupakan perhitungan waktu lamanya pertunjukan wayang
orang itu berlangsung. Dahulu dalam pertunjukan wayang orang dipentaskan dengan
durasi waktu yang sangat lama, yaitu antara 6 hingga 8 jam Namun sekarang
pertunjukan wayang orang dipentaskan hanya dalam jangka waktu paling sedikit 30
menit dan paling lama hingga 3 jam Perhitungan waktu seperti ini dilakukan
lagi-lagi karena faktor penonton.umumnya pergelaran Membutuhkan waktu dan
energi yang luar biasa. Hal ini membuat sebagian penikmat wayang dirasa kurang
efisien dan efektif. Menyadari tersebut.
Berawal dari dakwah yang
dilakukan Sunan Gunung Djati dan Sunan Kalijaga, pertunjukan wayang
wong (wayang topeng) –drama-tari yang memakai manusia sebagai
objek pertunjukannya– telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari
kebudayaan masyarakat Cirebon.Penyebarannya pun terus dilakukan hingga dikenal
oleh masyarakat Priangan. Rombongan wayang wong dari Cirebonlah yang berperan
penting dalam penyebaran tersebut. Hingga kini pertunjukan wayang wong masih
terus dilesatarikan, walau hanya ditampilkan dalam acara tertentu saja.
Secara historis, penyebaran
wayang wong dari wilayah Jawa Tengah terjadi ketika zaman Mataram Islam
(1588-1755). Terdapat kondisi yang serupa di wilayah kekuasaan Mataram saat itu
dengan Kesultanan Cirebon, yakni aktivitas penyebaran Islam. Istana kukan
Menurut Soedarsono dalam Wayang Wong Drama Tari Ritual Keagamaan di
Yogyakarta, Sunan Kalijaga menjadi tokoh yang paling berperan dalam
penyebarannya itu. “Sunan Kalijaga selalu dikaitkan dengan penciptaan
topeng-topeng untuk pertunjukan wayang wong pertama pada permulaan abad ke-16”.
Dalam upaya membantu Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Cirebon, Sunan
Kalijaga membuat berbagai tradisi yang disesuaikan dengan kegemaran masyarakat.
Salah satunya adalah hiburan dalam bentuk drama pertunjukan.
Penyebaran seni wayang ini
semakin diperkuat oleh hubungan baik Cirebon dan Mataram. Pada 1636, Panembahan
Ratu melakunjungan ke Mataram untuk menemui Sultan Agung Anyakra Kusuma.
Setelah pertemuan itu, pemerintah Cirebon mengirim seniman-senimannya
untuk mempelajari ragam pertunjukan wayang di Mataram. Namun pada 1678,
terjadi kekacauan di Cirebon. Kesultanan Cirebon terbelah menjadi tiga kerajaan
kecil –Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kacirebonan, dan Kesultanan Kanoman–
akibat konflik internal yang terjadi di dalam istana. Situasi semakin tidak
menentu saat pengaruh Belanda mulai merambah wilayah tersebut. “Tetapi
tidak berarti bahwa pertumbuhan kesenian di wilayah Cirebon terhenti. Sampai
akhir abad ke-19, Cirebon masih menjadi pusat pemeliharaan dan pengembangan
seni tari yang baik.” tulis Soedarsono. kelompok pertunjukannya Hingga abad
ke-20, para sultan di Cirebon terus berusaha melindungi dan melestarikan
berbagai kesenian tradisional di sana, termasuk wayang wong, dari
pengaruh-pengaruh asing. Caranya, dengan menggelar pertunjukan-pertunjukan di
tengah masyarakat.
Jika
sebelumnya pertunjukan wayang wong hanya dilakukan oleh abdi istana, demi
menjaganya pemerintah dari masing-masing kerajaan mengeluarkan kebijakan
menjadikan wayang wong sebagai kesenian rakyat. Akhirnya banyak desa yang
memiliki masing-masing. Terpisahnya Cirebon ke dalam tiga kerajaan
membuat masing-masing pemerintahan memiliki kebijakan yang berbeda. Perbedaan
itu juga ternyata mempengaruhi ragam pertunjukan yang diangkat oleh tiap-tiap
kerajaan.
Dalam Wayang Wong Priangan:
Kajian mengenai Pertunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat, Iyus
Rusliana menjelaskan bahwa wayang wong di keraton Kanoman biasanya mengangkat
cerita Madayin atau cerita Menak Amir. Para pemainnya tidak menggunakan topeng,
dan mereka berbicara sendiri. Sementara dalang hanya berperan membawakan kakawen –nyanyian
dalam pertunjukan wayang.
“Para pelaku umumnya di kalangan
seniman rakyat yang selanjutnya menjadi abdi dalem yang diberi garapan tanah.
Ada juga di antara mereka yang diberi gelar Nata Parwa.”
ungkap Iyus.
Sementara itu, di istana Kacirebonan
wayang wong dikenal sebagai “topeng dalang” karena sang dalang memainkan peran
yang besar dalam jalannya pertunjukan. Setiap kali melakukan penampilan,
gamelan slendro akan mengiringi musiknya. Cerita yang dipentaskan pun umumnya
diangkat dari epos Mahabarata.
Pemandangan berbeda tampak terlihat
di Kraton Kasepuhan. Tidak seperti di Kanoman dan Kacirebonan, wayang wong di
Kasepuhan dimainkan oleh kelompok rakyat. Secara berkala, mereka diundang untuk
mengisi acara-acara penting kesultanan, seperti hari raya Islam, hajatan,
dan ruwatan.
Rombongan wayang pimpinan dalang
Resmi menjadi pertunjukan yang paling terkenal pada masa Sultan Raja Atmaja
(1880-1899). Sementara pada masa Sultan Raja Sepuh Aluda Tajul Arifin
(1899-1942), kelompok Surma dan Gegesik selalu menjadi pilihan utama sang
sultan saat mengadakan acara istana.
“Kisah-kisah yang biasa diangkat
dalam pertunjukan wayang wong di Kasepuhan, di antaranya Babad Alas Amer,
Somantri Ngenger, Partakrama, Sampang Curiga, Brajamusti, dan Lakon Batara
Kala.” kata Iyus.
Awal abad ke-20, wayang wong Cirebon
telah dipertunjukkan di kalangan masyarakat umum sampai ke wilayah Priangan.
Kelompok pertama yang mengadakan pertunjukan di luar Cirebon adalah Ki Kempung
dan Ngabehi Natawiguna. Keduanya telah cukup lama mendirikan kelompok wayang
wong di Kasepuhan.
Dalam tulisannya, Javaanse
Volksvertoningen, Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk, Thomas
Pigeaud (ahli literatur Jawa dari Belanda) menyebut para pemain wayang wong
dari Cirebon telah menjadi kelompok professional yang berkeliling di tanah
Priangan pada awal tahun 1900.
“Dalam pertunjukannya mereka
mendirikan bangsal dari bambu dan memungut uang masuk dari penonton serta
memenuhi perminataan orang yang mengundang dalam acara kriyahan.”
pungkas Pigeaud.
Daerah Sumedang, Bandung, Garut,
Sukabumi dan Sukapura (sekarang Tasikmalaya) menjadi tempat yang paling sering
didatangi kelompok wayang wong dari Cirebon. Masyarakat menyambut baik mereka,
dan sangat menyukai penampilannya.
Penampilan dalang yang paling
ditunggu berasal dari kelompok Wentar dan Koncer. Dalam melakukan pertunjukan,
kelompok Wentar lebih banyak diundang oleh kaum Menak. Sedangkan kelompok
Koncer lebih mengutamakan pertunjukan wayang wong di pelosok-pelosok karena
lebih dekat dengan kalangan rakyat biasa.
“Di Sukapura, pertunjukan wayang
wong lebih banyak menggambarkan tokoh-tokoh dari wayang Purwa, seperti Arjuna,
Darmawulan, Panji, dan sebagainya.” kata Pigeaud.
Mulanya, pertunjukan wayang wong
kelompok Cirebon ini berbahasa Cirebon. Tapi selanjutnya bercampur dengan
bahasa Sunda setelah para menak Garut sering mengundang kelompok wayang itu
dalam berbagai acara. Mereka menyesuaikan dengan daerah yang dituju agar para
penonton dapat mengerti jalan cerita yang dibawakan.
Karena seringnya penampilan wayang
wong diadakan, banyak masyarakat yang kemudian mencoba mendirikan kelompok
pertunjukan tersebut. Seperti yang terjadi di Garut dan Sukabumi. Masyarakat di
sana mencoba peruntungannya dalam kesenian tersebut. Namun banyak yang tidak
beruntung dan berakhir dengan kegagalan.
Selain untuk melestarikan kesenian
tarian wayang wong ini masyarakat juga memanfaatkan agar bisa lebih
meningkatkan lagi untuk meningkatkan hasil
ekonomi di masyarakat sekitar kanoman. mereka selalu giat dan gigih
melatih & dan berlatih serta mempertahankan kesenian tari wayang wong
tersebut . dengan cara mempertunjukan di acara-acara tertentu mereka siap menampilkan yang terbaik.
Komentar
Posting Komentar