Blangkon untuk wayang orang




Blangkon, ikat kepala pria dalam tradisi busana Jawa. Terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif hias (batik), dilipat, dililit, dijahit, sehingga menjadi semacam topi yang dapat langsung dikenakan oleh pemakainya. Blangkon kelengkapan pakaian tradisional Jawa, di samping fungsinya sebagai penutup kepala juga terkandung maksud simbolik berupa pengharapan dalam bobot nilai-nilai hidup. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa kepala seorang lelaki mempunyai arti penting dan amat diutamakan, sehingga masyarakat Jawa kuno menggunakan Blangkon sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib. Riwayat blangkon, dapat dirunut panjang baik dalam lajur sejarah lisan, mitologi, babad, maupun sastra tulis. Pengenaan ikat kepala, berbentuk surban sudah dikenali sejak hikayat Ajisaka, pendatang yang mengenakan kain penutup kepala (surban) sebagaimana tradisi asalnya (masyarakat Keling, India). Ajisaka yang diyakini sebagai cikal bakal pengembang peradaban di Jawa salah satu yang disebut-sebut sebagai sumber muasal blangkon. Kelahiran blangkon sering dikaitkan penambahan varian pengenaan iket lembaran dan iket tepen dalam tradisi busana Jawa, yang tercermin pula dalam busana tari klasik. Kelahiran blangkon secara masif diperkirakan bersamaan dengan beralihnya penutup kepala dari kain (iket tepen) ke penutup kepala dengan tropong dalam dunia pertunjukan wayang wong. Dalam perkembangannya, blangkon membawa corak lokal, yaitu blangkon gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya wilayah kultur lainnya, seperti Sunda, Semarangan, Pesisiran, dan Jawa Timuran. Pada hakikatnya, ”blangkon” dalam arti penutup kepala dari lilitan kain tinggal pakai bak topi, menjadi kekayaan tradisi budaya yang menyebar dan dimiliki oleh masyarakat tradisi. Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Menurut wujudnya, blangkon dibagi menjadi 4, yaitu: blangkon Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan Blangkon Banyumasan.
Blankon adalah salah satu bagian dari pakaian adat khas Jawa yang digunakan untuk penutup kepala bagi pria sebagai pelindung dari sengatan matahari atau udara dingin. Awalnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar, berukuran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu. Mengenakan iket dengan segala aturannya ternyata tidak mudah dan memakan waktu, maka timbullah gagasan seiring dengan kemajuan pemikiran orang dan seni untuk membuat penutup kepala yang lebih praktis, yang kemudian kita kenal dengan nama blangkon.
Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.
Menurut Ranggajati, seorang pembuat blangkon membutuhkan virtuso skill atau keahlian keindahan. Keindahan blangkon, lanjut Ranggajati, selain dilihat dari pemenuhan pakem juga cita rasa sosial. Apalagi pakem blangkon sesungguhnya bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para pemakainya.
Secara umum, ada dua jenis blangkon, yaitu yang mempunyai mondolan (tonjolan) dan yang trepes (rata). Pada awal iket dipergunakan sebagai tutup kepala, banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket. Gelung rambut ini lah yang kemudian mondol, menonjol, dan disembunyikan dibawah iket. Rambut dalam nilai filosofi orang Jawa yang sudah disebutkan diatas adalah representasi perasaan. Rambut dibawah iket adalah perasaan yang disembunyikan, yang harus dijaga rapat-rapat, menjaga perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang lain Tidak ada catatan sejarah yang pasti akan asal muasal orang Jawa memakai iket sebagai penutup kepala. Iket telah tersebut dalam legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa, sekitar 20 abad yang lalu dimana Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar kain penutup kepala yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa.
Selain itu, ada cerita-cerita bahwa iket adalah pengaruh budaya Hindu dan Islam. Para pedagang dari Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala, yang kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka. Cerita lain mengatakan, di satu waktu akibat peperangan kain menjadi barang yang sulit didapat sehingga petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang lebih efisien yaitu blangkon.
Seorang ahli kebudayaan bernama Becker yang meneliti tata cara pembuatan blangkon mengatakan, “That an object is useful, that it required virtuoso skill to make – neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generate from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”. Pada jaman dahulu, blankon memang hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem (aturan) tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya.
Ada juga sumber yang mengatakan bahwa penutup kepala ini sengaja di cipta para raja melalui para seniman karena pada jaman itu mereka mengalami krisis kain. Biasanya mereka menggunakan ikat kepala persegi berukuran 105 cm x 105 cm. Namun dengan blangkon ini bisa menghemat setengahnya.
Tak ubahnya dengan topi penghias kepala ini juga dibuat dengan cara yang sangat rapi dan memperhatikan unsur keindahan. Sejak jaman dulu telah dipercaya bahwa rambut atau kepala yang dalam bahasa Jawa Mustoko dianggap sebagai sesuatu yang harus diperlakukan dengan cara istimewa.
Oleh karena itu para seniman membuat blangkon bukan hanya sebagai alat untuk melindungi kepala. Selain bisa melindungi dari terik panas dan hujan penutup kepala ini diharap mampu memancarkan keindahan dan kegagahan.
Usut punya usut ternyata blangkon memiliki filosofi transcendental antara mahluk dengan pencipta -Nya. Bila diperhatikan maka blangkon akan memiliki dua ujung kain yang mana satu mensimbolkan syahadat Tauhid dan satu lagi mensimbolkan syahadat Rasul.
Bila dua syahadat tersebut disatukan maka akan menjadi syahdat ‘ain. Bila pertemuan dua syahadat tersebut diletakan diatas kepala artinya berada di tempat yang terhormat. Harapannya segala pemikiran yang keluar dari kepala didasarkan pada sendi-sendi Islam.
Kini dalam perkembangan waktu, dari ikat kepala juga dapat diketahui asal usul seseorang. Di dalamnya terdapat identitas yang di wakili oleh wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya.
Semakin tinggi nilai yang diwakili maka kelas sosial pengguna blangkon dipastikan akan semakin tinggi pula. Namun tetap saja nilai utama yang hendak disampaikan adalah bentuk pengendalian diri. Jangan sampai kepala sebagai pusat dari tindak tanduk tidak terkontrol dengan baik.
Nilai filosofis lain yang ada terlihat dari ada tidaknya mondolan. Konon mondolan adalah bentuk representasi dari orang Jawa khususnya Jogja yang suka menyembunyikan perasaan. Perasaan yang disembunyikan tersebut pada akhirnya akan muncul juga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

alat musik kecrek

TARI SRIKANDI

wayang orang ngesti pandawa