TOKOH WAYANG PETRUK


Tokoh petruk hanya ada di pewayangan jawa  yang mana berada di pihak keturunan Witaradya. Tokoh ini tidak disebutkan di dalam kitab Mahabarata, sehingga bisa dikatakan bahwa tokoh Petruk merupakan tokoh pewayangan gubahan asli Jawa.Petruk merupakan anak dari seorang pendeta raksasa yang bernama Begawan Salantara. Ia hobi sekali bergurau dengan siapapun, baik dari tingkah lakunya, hingga ke ucapannya. Namun ia pun juga suka cari ‘mala’ alias masalah, karena hobinya adalah berkelahi. Siapapun selalu ia tantang. Namun, ia terbilang sebagai tokoh yang jago kandang. Karena ia hanya berani bertanding atau adu kesaktian di daerah tempat tinggalnya saja. Tapi ia sadar dan memutuskan berkelana untuk menguji kesaktiannya.

Di tengah perjalanan, Petruk bertemu dengan gareng yang namanya masih bambang sukodadi. Di mana Bambang Sukodadi ingin menguji kekebalannya. Cocoklah dengan Petruk yang ingin menguji kesaktiannya. Jadilah mereka bertarung, hingga fisik mereka cacat tak karuan. Di sinilah mereka bertemu dengan Batara Ismaya atau semar  kemudian diangkat menjadi anaknya.petruk yang memiliki nama asli Bambang Pecrukpanyukilan merupakan anak Gandarwa yang merupakan sejenis jin di mana ia diangkat sebagai anaknya semar setelah Gareng. Ia pun memiliki julukan yaitu ‘Kanthong Bolong’ yang artinya adalah suka berbagi alias dermawan. Selain ‘Kanthong Bolong’, Petruk juga memiliki julukan lain yaitu ‘Doblajaya’ yang artinya adalah cerdik.
Bisa dikatakan bahwa Petruk adalah anggota Punakawan yang paling cerdik di antara kedua saudaranya, gareng dan Bagong.Petruk bersemayam di Pecuk Pecukilan di mana ia memiliki satu anak dari seorang istri yang bernama Dewi Undanawati. Anaknya bernama Bambang Lengkung Kusuma, di mana ia adalah seseorang yang rupawan.Petruk memiliki lima sifat dasar di dalam jati dirinya.  
Yang pertama adalah sifat ‘Momong’ di mana ia adalah seseorang yang pandai mengasuh anak Kedua, ia memiliki sifat ‘Momot’ di mana ia adalah seseorang yang pandai menyimpan rahasia. Tak heran jika kedua saudaranya, selalu bercerita atau mengutarakan masalahnya ke Petruk dan Petruk selalu menyimpan cerita rahasia itu. Ketiga, Petruk memiliki sifat Momor yang artinya lapang dada. Walaupun petruk sering mendapatkan kritikan atau makian dari orang lain, ia sangat mudah sekali lapang dada, alias dalam istilah Jawanya adalah legawa. Keempat adalah sifat Mursid yang artinya mudah paham apa yang diinginkan tuannya. Sedangkan yang kelima adalah sifat Murakabi di mana ia adalah sosok yang sangat bermanfaat bagi orang di sekitarnya.
Petruk memiliki ciri khas fisik yang bisa mudah kita ingat. Ciri fisiknya adalah hidungnya yang panjang. Hidungnya Petruk paling panjang di antara kedua saudaranya. Bentuk fisiknya, ia memiliki perut yang dijuluki ‘Kanthong Bolong’. Bentuk fisik atau julukan ini bukan hanya simbol dari sifat Petruk yang dermawan saja, melainkan petruk juga memiliki sifat pandai bicara, namun terkadang bicaranya hanya tong kosong alias tidak ada artinya.
Petruk merupakan salah satu tokoh fiksi dalam dunia pewayangan Jawa. Bersama tokoh lainnya, Gareng, Bagong dan Semar, Petruk disebut dengan PunakawanPunakawan sendiri berasal dari kata Puna yang berarti ‘paham’ dan Kawan yang berarti teman. Dalam dunia perwayangan, Punakawan diidentikkan dengan sosok abdi atau suruhan dari seorang raja. Punakawan tidak hanya sekedar menjadi abdi atau suruhan raja semata, namun juga menjadi kelompok penebar humor, mencairkan suasana hingga memahami apa yang sedang menimpa majikan atau raja mereka.
Bahkan punkawan juga dapat menjadi penasehat raja dan ksatria saat Layaknya dua kutub dalam kehidupan yakni baik dan buruk, punkawan pun demikian. Ada punkawan kanan yang disebut Prepat (Gareng, Petruk, Bagong, dan Semar) berugas membimbing raja mereka kearah yang baik. Punakawan kiri atau Kiwa adalah Punakawan berawatak angkara murka yang menebar kebencian seperti Togog dan Bilung. Kedua kelompok Punakawan membuat strategi mereka dalam mempengaruhi seorang raja atau majikan mereka.
Hal yang lumrah dalam dunia nyata, selalu ada kelompok ‘pembisik’. Akan selalu ada orang yang berwatak licik guna kepentingan sendiri dan kelompoknya. Namun, disisi lain ada pula kelompok dengan perawakan jenaka, kurang memiliki prejengan atau tampang menjadi pemimpin menjadi penasihat dengan membawa hal baik bagi kepentingan bersama, kepentingan rakyat atau istilah Jawanya yang dipakai dalam dunia pewayangan adalah sikap ‘Memayu Hayuning Bawono’.
 Dibalik atribusinya sebagai tokoh jenaka dalam dunia pewayangan, Petruk bersama tokoh Punkawan Prepat lain (Gareng, Semar, dan Bagong) dikenal pula sebagai tokoh yang tak dapat disangka-sangka pemikirannya. Orang menganggap Petruk sebagai seorang abdi yang bodoh dan tak tahu apa-apa. Petruk seringkali memberikan petuah bijak, terutama dalam hal kepemimpinan politik saat negeri kahyangan mengalami gara-gara (kekacauan).
  Petruk memang tokoh fiksi, namun Petruk sebagai refleksi dalam ranah kebudayaan tergolong dalam Cultural Morphology sebagaimana dikemukakan Johan Huizinga yang dikutip oleh Kuntowijoyo. Cultural Morphology, adalah suatu usaha melukiskan pola kehidupan, kesenian, dan pikiran secara keseluruhan.
Petruk lahir dari negeri antahberantah dunia pewayangan, bahkan dalam lakon wayang sendiri kelahirannya tidak dijelaskan secara detail. Petruk menuliskannya lewat lelakon fiksi melalui dunia pewayangan. Banyak petuah yang ia berikan mulai dari bertingkah polah seorang pemimpin terhadap rakyatnya hingga urusan remeh-temeh pun Petruk memahaminya.
Baginya, ‘Kawula Iku Tanpa Wates, Ratu Kuwi Anane Mung Winates’ (Rakyat itu tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas). Disini Petruk pun melihat bagaimana hubungan antara rakyat dan penguasa saling mempengaruhi, pemimpin tidak akan tercipta tanpa adanya rakyat. Petruk juga mengingatkan adanya pembatasan kekuasaan agar layaknya konstitusi dalam negara demokrasi. Raja juga harus mendapatkan pengakuan dari rakyatnya (kawula) dan sebisa mungkin menciptakan susana harmonis guna menciptakan ‘Sabaya Mati Sabaya Mukti’ yakni sinergi antara rakyat dan pemimpin.
Hal tersebut perlu dilakukan agar raja atau pemimpin tidak ‘Koncatan Wahyu’ atau ditinggalkan rakyatnya, istilah politisnya adalah kehilangan legitimasi. Hal ini cukup beralasan, karena legitimasi merupakan faktor yang penting dalam menjalankan sebuah kekuasaan. Tanpa adanya legitimasi maka jalannya pemerintahan tersebut dapat kita katakan tidak sah karena tidak didukung oleh masyarakat mayoritas.
Dalam lakon ‘Petruk Dadi Ratu’ terdapat scene dimana Petruk kehilangan Pethel (Kapak Kecil), alat yang digunakannya untuk memotong kayu sebagai wong cilikPethel tersebut merupakan citra dan identitas diri Petruk. Hilangnya pethel Petruk membuat dirinya menjadi seolah kehilangan sesuatu yang amat penting baginya, ia tidak bisa bebruat banyak tanpanya.
Sebenarnya, scene tersebut merupakan sebuah kritik bagi sebuah entitas bangsa yang sedang mengalami kehilangan citra dan identitas diri. Bangsa yang kehilangan citra diri dan identitasnya akan kesulitan menghadapi segala bentuk tantangan kebangsaan kedepan. Oleh karena itu penting kiranya untuk selalu menjaga citra dan identitas diri menjadi sebuah bangsa yang ‘Memayu Hayuning Bawono’, terutama bagi negeri kita yang bergerak menuju arah yang lebih baik.
Untuk menjadi seorang pemimpin terutama pemimpin politik, Petruk mencontohkannya dengan daun kates (pepaya). Kenapa daun pepaya? bagi sebagian orang daun pepaya memang pahit, namun daun kates berfungsi sebagai obat penyembuh penyakit. Begitupula kehidupan dan politik, walaupun kadang hidup itu pahit tak jarang pula terkadang menghasilkan sebuah kemajuan dan obat bagi bangsa yang sedang sakit jika dijalankan secara benar dan sinergi antara rakyat dan pemimpin yang bagi Petruk disebut ‘Manunggal Kawula Gusti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kenong

TOKOH WAYANG RAMA

alat musik kecrek