Wayang Orang Bharata
Bagi saya orang Indonesia, sebuah penghargaan bisa membantu orang asing mengenal budaya Indonesia. Walaupun hanya sebagai penerjemah pentas. Memang sudah umum orang asing tertarik pada budaya Indonesia. Timbul pikiran saya, apakah jika kita berada di negara lain, kita juga akan dengan antusias menonton pertunjukan budaya di sana, namun jika di negara sendiri malah abai? Ataukah Aoi pun merasa budaya Indonesia menarik karena asing, dibanding budayanya sendiri? Entah lah, saya hanya bertanya.
Yang jelas, malam itu, Minggu 4 Desember 2016, di malam Jakarta yang sendu karena gerimis tak berhenti sejak sore hari, saya ada di barisan penonton lanjutan rangkaian Festival Teater Jakarta 2016 (FTJ 2016) yang menampilkan WO Bharata sebagai pengisi Sayap Klasik. Sayap Klasik dalam FTJ 2016 diisi oleh kelompok-kelompok teater yang sudah matang dan “senior”. Ada empat penampil yang menampilkan karya-karya teater bernuansa kedaerahan dengan gayanya yang klasik. Ada kelompok lenong Puja Betawi, Sahibul Hikayat yang menampilkan sastra lisan dan pantun, dan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang sudah berdiri sejak 1928 yang membawakan cerita-cerita dari Si Manis Jembatan Ancol hingga Beranak Dalam Kubur
WO Bharata adalah kelompok wayang orang yang tentu saja menampilkan cerita pewayangan. Telah lahir sejak tahun 1972, WO Bharata masih bertahan dan rutin menyelenggarakan pentas di Gedung WO Bharata di daerah Senen, Jakarta Pusat.
Malam itu, mereka mementaskan sebuah lakon carangan (lakon yang keluar dari pakem pewayangan) yang lucu namun berisi filosofi dalam adegan-adegan yang dimainkan. Judulnya Punakawan Sungging. WO Bharata dengan konsistensinya, mengulik cerita wayang yang sarat pesan moral. Kemudian mengemasnya selembut Bahasa Jawa kromo di sepanjang pentas. Disutradarai oleh Teguh Ampiranto yang telah berkiprah di WO Bharata sejak pertengahan 1980-an, Punakawan Sungging bercerita tentang gadis cantik bernama Endang Nirasmoro yang memikat dua lelaki yakni putra mahkota Kerajaan Astina, Raden Lesmana Mandrakumara Terjadilah persaingan antara pihak Lesmana yang didukung Astina dan Amarta, dengan Joko dan saudara-saudaranya yakni Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Bilung. Punakawan. Tawa berkali-kali pecah melihat tingkah punakawan yang dalam wayang biasanya muncul dalam adegan goro-goro.
Bermakna
Menonton
wayang orang tak hanya soal peran. Seni tari juga dieksplorasi. Begitu juga
kata-kata lembut dan makna cerita yang menyadarkan. Tari pembuka bertempo
lincah. Enam gunungan atau kayon besar diliuk-likkan oleh enam orang. Tempo
melambat saat para penari wanita dan seorang putri masuk. Kayon yang tadinya
bergambar hutan, dibalik menjadi bergambar langit. Seorang pangeran tampan
mencoba mendapat hati sang putri dalam gerak tari mereka. Berusaha mendapat
cinta yang menjadi pengantar cerita.
Lesmana akan
mewarisi Astina. Dia berasal dari pihak kurawa. Rengekannya ingin menikahi
wanita dalam mimpinya yaitu Endang Nirasmoro mengharuskan sang ayah meminta
bantuan pada Prabu Baladewa. Prabu Baladewa dengan gagah perkasa bertamu ke
kediaman Endang Nirasmoro di area pertapaan. Ayah Endang Nirasmoro menyambut
baik permintaan lamaran Baladewa untuk Lesmana. Tapi tak lama, ketiga punakawan
dengan muka cemang-cemong dan badan tak berbentuk datang. Tawa mulai pecah
menyaksikan mereka berdialog dan mencela-cela ayah Endang Nirasmoro.
Punakawan
dalam pewayangan adalah sosok rakyat jelata yang ceplas-ceplos. Merekalah
rakyat yang dihadirkan oleh seniman wayang Jawa kuno untuk menyentuh hati
nurani petinggi-petinggi kerajaan. Pejabat yang sibuk dengan urusan politik,
ekonomi, dan ketahanan negara, namun sering lupa berdialog dengan hati nurani
mempertanyakan mengapa mereka harus memimpin dan anak tiri Ki Lurah
Semar, Joko Panandang
Endang
Nirasmoro memberi syarat lamaran. Dia meminta diperlihatkan lima senjata sakti
milik Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima dan Arjuna. Kedekatan kubu Baladewa
pada kelima pemilik senjata mempermudah dan mempercepat proses peminjaman. Di
Amarta, negeri para Pandawa, Baladewa sudah deal soal peminjaman saat
ketiga punakawan tiba. Para punakawan pun kembali ke desa kecil mereka dan
melaporkan kegagalan pada ayah mereka, Ki Lurah Semar.
Datanglah
Wisanggeni yang diperintah oleh dewa untuk memenangkan pihak Punakawan
menikahkan adik mereka Joko Pramandang. Ide gila yang sepanjang adegan membawa
tawa pun dijalankan. Inilah bagian Punakawan Sungging. Sungging berarti dandan.
Kelima punakawan yaitu Petruk, Gareng, Bagong, Togog dan mBilung pun didandani
menyerupai Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima, Arjuna lengkap dengan senjata
mereka. KW super tentunya. Singkat cerita akhirnya kubu Punakawan berhasil
menikahkan Joko Panandang dengan mengelabui ayah Endang Nirasmoro. Tak lama
setelah pernikahan, barulah kubu Baladewa tiba melamar. Mereka terlambat dan
kebingungan mengapa ada yang memiliki senjata dan rupa mirip mereka. Tawa tak
pecah lagi saat adegan puncak, bahkan antar pemain pun tak bisa menahan geli,
saat ksatria asli bertemu muka dengan Punakawan yang di sungging. Saling
mengaku siapa yang benar. Saling melontarkan ejekan. Para ksatria tak habis
pikir kenapa rupa mereka jadi tak jelas seperti itu. Pertarungan kecil yang
terjadi kemudian dilerai oleh Dewa dan Wisanggeni. Ternyata, bantuan dewa sudah
digariskan karena Joko Panandang sebenarnya adalah Raden Abimanyu dan Endang
Nirasmoro adalah Siti Sundari. Pernikahan mereka sudah ditakdirkan semesta
Pentas
berakhir dengan tepuk tangan meriah dan rasa puas penonton malam itu. Sebuah
pertunjukan klasik yang membawa kita memaknai kehidupan dengan tawa. Tak semua
perlu ketegangan. Lebih penting ketenangan dan keriangan. Keriangan para
Punakawan, rakyat jelata yang selalu berusaha mencapai apa yang diinginkan
dijawab dewa lewat ide Wisanggeni. Dalam sebuah adegan ada semacam protes dan
pertanyaan soal keseriusan pemerintah menghidupkan kesenian klasik yang
adiluhung seperti wayang. Bahkan, celetukan Punakawan yang jelata dan pragmatis
menjadi warning dan perlu diintrospeksi. “Mending kita jual saja
(kesenian wayang orang) pada Malaysia atau Singapura. Di sana pasti diuurusi.”
Entah apa beban yang mereka panggul sebagai penjaga warisan budaya di tengah
budaya populer dewasa ini, yang jelas pernyataan yang tentu saja bercanda itu
perlu ditanggapi oleh pihak-pihak yang dituju.
Namun, malam
itu, membawa WO Bharata dan deretan penampil di Sayap Klasik atas kecermatan
Dewan Kesenian Jakarta dan Bekraf ke ajang FTJ 2016 di TIM perlu diapresiasi.
Membawa ruang yang lebih luas bagi mereka yang bukan tidak mungkin terancam
tenggelam.Keterbukaan informasi dan media semoga bisa membuka serta
warisan-warisan kesenian Indonesia yang kaya namun masih tersembunyi. Lebih pas
jika targetnya adalah anak-anak bangsa sendiri dibandingkan penonton-penonton
asing seperti Aoi. Semoga dengan saya menonton dan membayar tiket, ditambah
sedikit menulis, saya ikut pula menjadi bagian penjaga kebudayaan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar