alat musik celempung
Celempung merupakan alat musik khas dari sunda yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas bambu. Siter dan celempung adalah alat musik petik di dalam gamelan Jawa. Ada hubungannya juga dengan kecapi di gamelan Sunda. Celempung adalah perkusi dari bambu ( bentuk bulat ), berperan seperti kendang, mengatur irama. Yang berbentuk segi 6 dan segi 8 dari bahan kayu.
Pemukulnya dari bambu, dengan
ujungnya dibalut kain agar bunyinya nyaring. Atraksinya disebut celempungan.
Dilengkapi alat musik ( waditra ) kecapi, rebab, suling dan goong buyung.
Celempung ditiru dari icikibung, sejenis permainan tradisi ( pukulan
telapak tangan dan gerak sikut di permukaan air yang menghasilkan bunyi
Celempung dimainkan dengan 2 cara ; dipukul ( kedua alur sembilu dipukul
bergantian, tergantung ritme dan suara yang diinginkan ) dan diolah ( tangan
kiri mengatur besar kecil suara yang keluar dari badan celempung ). Suara tinggi
diperoleh dengan membuka lebih lebar. Suara rendah dengan menutup rapat lubang.
Suara yang dihasilkan celempung bisa beragam, tergantung keahlian pemain.
Sayangnya, alat musik ini sudah jarang dimainkan. Dalam ensambel, peran
celempung diganti kendang dan kulanter. Beginilah, jika musik tradisi kurang
dilirik. Ia bisa punah, tinggal kenangan.
Siter dan celempung masing-masing memiliki 11 dan 13 pasang senar,
direntang kedua sisinya di antara kotak resonator. Ciri khasnya satu senar
disetel nada pelog dan senar
lainnya dengan nada slendro.
Umumnya sitar memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah
kotak ketika dimainkan, sedangkan celempung panjangnya kira-kira 90 cm dan
memiliki empat kaki, serta disetel satu oktaf di bawah siter. Siter dan
celempung dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan
bersama (panerusan), sebagai instrumen yang
memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Baik siter maupun celempung dimainkan dengan
kecepatan yang sama dengan gambang (temponya
cepat).
Nama "siter" berasal dari Bahasa Belanda "citer",
yang juga berhubungan dengan Bahasa Inggris "zither".
"Celempung" berkaitan dengan bentuk musikal Sunda celempungan.
Senar siter dimainkan dengan ibu jari,
sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik,
ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan
untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari
tangan kiri berada di atas senar. Nama ‘siter’ berasal dari ‘citer’ (
bahasa Belanda ) atau ‘zither’ ( bahasa Inggris ). Sedangkan, nama ‘celempung’
terkait musikal Sunda,
yaitu celempungan. Ibu jari memainkan senar siter, jari lain menahan getaran
ketika senar lain dipetik. Ciri gamelan. Tangan kanan di bawah senar, tangan
kiri di atas senar. Keduanya menahan getaran. Gamelan siteran ( juga gamelan
lain ) terdiri siter dan celempung berbagai ukuran.
Celempung yang perkusi, ritmis, dari
Sunda. Dari mana nama kembaran siter diambil.
Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain
atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini
ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara
bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain
musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara
untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan)
celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar,
sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa
bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini
alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya
sudah diganti dengan kendang dan kulanter.
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
SEJARAH CELEMPUNG
BERAWAL dari kaulinan budak (permainan
anak), terciptalah alat musik Sunda buhun bernama celempung. Kata celempung
berasal dari bunyi air yang kejatuhan benda. Dahulu, anak-anak kecil suku Sunda
di perkampungan senang bermain air. Mereka pun membuat lubang di tanah, lalu
mengisinya dengan air. Ketika sebuah benda dijatuhkan ke dalam lubang itu,
terdengar bunyi “celempung”. Suara itulah yang menginspirasi alat musik celempung.
Seiring dengan perkembangan zaman,
masyarakat Sunda sengaja mengembangkan kaulinan budak tersebut dengan
menciptakan alat musik pukul dari bambu yang bunyinya mirip suara air
“celempung”. Dari sanalah, alat musik itu dinamakan celempung.
Sampai sekarang, alat musik Sunda
buhun tersebut sudah memasyarakat di beberapa daerah Jawa Barat, termasuk
Sumedang. Suaranya akrab di telinga para seniman dan budayawan Sunda. Celempung
tersebut dari sepotong bambu ukuran sedang dengan panjang sekitar setengah meter.
“Awalnya, celempung itu dibuat hanya
satu, seperti halnya kentungan bambu. Nah, saya menciptakan tiga buah celempung
yang disatukan. Cara memainkannya dipukul seperti gamelan. Ternyata lebih
simpel memainkannya. Bahkan, suaranya pun bervariasi sehingga menimbulkan nada
dan irama,” kata budayawan Sumedang dari “Perkumpulan Insun dan Paguyuban Seni
Budaya Conggeang”, Edah Zubaedah, saat mengikuti pameran “Festival Prabu Geusan
Ulun” di Halaman Gedung Negara Jalan Prabu Geusan Ulun.
Menurut dia, alat musik celempung
biasa dimainkan orang Sunda dulu saat beristirahat dan melepas lelah setelah
kerja keras di sawah, ladang atau kebun. Mereka memainkannya di saung rangon
(gubuk bambu).
Oleh karena itu, celempung menjadi
bagian dari kehidupan orang Sunda di perkampungan sejak lama. Celempung, biasa
dimainkan berbarengan dengan alat musik Sunda buhun lainnya, seperti karinding,
kendang suuk, dan goong buyung. Semua alat itu juga terbuat dari bambu. Selain
itu, celempung juga bisa dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.
“Musik celempung yang dikolaborasikan
dengan alat musik modern sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi
swasta di acara ‘Indonesia Sejuta Bunyi”,” tutur Edah.
Celempung, menurut dia, tidak sebatas
alat musik. Lebih dari itu, celempung mengandung simbol perdamaian dan media
kekerabatan orang Sunda di wilayah Priangan, Jawa Barat.
Disebut simbol perdamaian karena
suara celempung lembut dan nyaman di telinga. Namun, karena suara yang
dihasilkan dari alat musik bambu sangat terbatas sehingga celempung harus
dibantu sound system ketika dimainkan di atas panggung.
“Alat musik celempung ini tidak
berisik, tidak memekakkan telinga, serta tidak menimbulkan suasana
ingar-bingar, seperti alat musik modern lainnya. Oleh karena itu, permainan
celempung tidak akan memancing keributan dan pertengkaran ketika dimainkan di
atas panggung. Dengan demikian, celempung disebut alat musik simbol perdamaian.
Celempung dikenal sebagai media
kekerabatan sesama orang Sunda lantaran beberapa masyarakat adat di Jawa Barat
dan Banten sama-sama menggunakan celempung. Contohnya, masyarakat adat
Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, warga Kampung Naga di Tasikmalaya, dan suku
Baduy di Banten.
Kelestarian alam Lebih jauh Edah
menjelaskan, celempung merupakan warisan seni dan budaya para leluhur Sunda
yang sudah memiliki sifat mencintai kelestarian alam dan lingkungan. Itu
karena, celempung terbuat dari bambu sehingga warga pun menanam bambu. Tanaman
bambu selain dimanfaatkan untuik alat musik berguna pula untuk menyerap air dan
mencegah longsor. Oleh karena itu, celempung mengandung filosofi cinta
lingkungan.
Tak ayal, kelompok yang dibentuk
Edah mengusung prinsip Sunda, “Leuweung Kaian, Gawir Awian, Lebak Caian”.
“Bambu menjadi bagian dari budaya Sunda”, ucapnya.
Guna mengembangkan alat musik Sunda
buhun, khususnya celempung, Edah sangat berharap Pemerintah Sumedang membuat
Peraturan Daerah Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS). Melalui perda tersebut,
ada upaya menginventarisasi sekaligus mengambangkan berbagai kesenian dan
budaya Sunda, salah satunya alat musik Sunda buhun.
“Sangat disayangkan, dari 80 alat
musik Sunda buhun, yang baru tercatat di lembaga dunia Organisasi Pendidikan,
Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikan Bangsa Bangsa (UNESCO), baru angklung.
Melalui Perda SPBS, kita juga berharap alat musik Sunda lain harus dipatenkan
untuk menjaga Hak atas Kekayaan Intelektual urang Sunda,” tutur Edah.
http://ngamumulebudaya.blogspot.com/2017/04/sejarah-celempung.html
https://kotamanusia.wordpress.com/2011/06/20/siter-dan-celempung-kembar-melodius-yang-tak-sama-namun-sehati/
Komentar
Posting Komentar