Hikayat Wayang Orang di Priangan
BERAWALl dari dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati dan Sunan Kalijaga, pertunjukan wayang wong (wayang topeng) –drama-tari yang memakai manusia sebagai objek pertunjukannya– telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kebudayaan masyarakat Cirebon.
Secara historis, penyebaran wayang wong dari
wilayah Jawa Tengah terjadi ketika zaman Mataram Islam (1588-1755). Terdapat
kondisi yang serupa di wilayah kekuasaan Mataram saat itu dengan Kesultanan
Cirebon, yakni aktivitas penyebaran Islam. Menurut Soedarsono dalam Wayang
Wong Drama Tari Ritual Keagamaan di Istana Yogyakarta, Sunan Kalijaga
menjadi tokoh yang paling berperan dalam penyebarannya itu. “Sunan Kalijaga
selalu dikaitkan dengan penciptaan topeng-topeng untuk pertunjukan wayang wong
pertama pada permulaan abad ke-16”.
Dalam upaya membantu Sunan Gunung Djati
menyebarkan Islam di Cirebon, Sunan Kalijaga membuat berbagai tradisi yang
disesuaikan dengan kegemaran masyarakat. Salah satunya adalah hiburan dalam
bentuk drama pertunjukan. Penyebaran seni wayang ini semakin diperkuat oleh
hubungan baik Cirebon dan Mataram. Pada 1636, Panembahan Ratu melakukan
kunjungan ke Mataram untuk menemui Sultan Agung Anyakra Kusuma. Setelah
pertemuan itu, pemerintah Cirebon mengirim seniman-senimannya untuk
mempelajari ragam pertunjukan wayang di Mataram.
Namun pada 1678, terjadi kekacauan di Cirebon.
Kesultanan Cirebon terbelah menjadi tiga kerajaan kecil –Kesultanan Kasepuhan,
Kesultanan Kacirebonan, dan Kesultanan Kanoman– akibat konflik internal yang
terjadi di dalam istana. Situasi semakin tidak menentu saat
pengaruh Belanda mulai merambah wilayah tersebut.
“Tetapi tidak berarti bahwa pertumbuhan
kesenian di wilayah Cirebon terhenti. Sampai akhir abad ke-19, Cirebon masih
menjadi pusat pemeliharaan dan pengembangan seni tari yang baik.” tulis
Soedarsono. Hingga abad ke-20, para sultan di Cirebon terus berusaha melindungi
dan melestarikan berbagai kesenian tradisional di sana, termasuk wayang wong,
dari pengaruh-pengaruh asing. Caranya, dengan menggelar pertunjukan-pertunjukan
di tengah masyarakat.
Jika sebelumnya pertunjukan wayang wong hanya
dilakukan oleh abdi istana, demi menjaganya pemerintah dari masing-masing
kerajaan mengeluarkan kebijakan menjadikan wayang wong sebagai kesenian rakyat.
Akhirnya banyak desa yang memiliki kelompok pertunjukannya masing-masing.
Terpisahnya Cirebon ke dalam tiga kerajaan
membuat masing-masing pemerintahan memiliki kebijakan yang berbeda. Perbedaan
itu juga ternyata mempengaruhi ragam pertunjukan yang diangkat oleh tiap-tiap
kerajaan.
Dalam Wayang Wong Priangan: Kajian mengenai
Pertunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat, Iyus Rusliana menjelaskan
bahwa wayang wong di keraton Kanoman biasanya mengangkat cerita Madayin atau
cerita Menak Amir. Para pemainnya tidak menggunakan topeng, dan mereka
berbicara sendiri. Sementara dalang hanya berperan membawakan kakawen
–nyanyian dalam pertunjukan wayang.
“Para pelaku umumnya di kalangan seniman rakyat
yang selanjutnya menjadi abdi dalem yang diberi garapan tanah. Ada juga di
antara mereka yang diberi gelar Nata Parwa.” ungkap Iyus.
Sementara itu, di istana Kacirebonan wayang wong dikenal sebagai “topeng
dalang” karena sang dalang memainkan peran yang besar dalam jalannya
pertunjukan. Setiap kali melakukan penampilan, gamelan slendro akan mengiringi
musiknya. Cerita yang dipentaskan pun umumnya diangkat dari epos Mahabarata.
Pemandangan berbeda tampak terlihat di Kraton
Kasepuhan. Tidak seperti di Kanoman dan Kacirebonan, wayang wong di Kasepuhan
dimainkan oleh kelompok rakyat. Secara berkala, mereka diundang untuk mengisi
acara-acara penting kesultanan, seperti hari raya Islam, hajatan, dan ruwatan.
Rombongan wayang pimpinan dalang Resmi menjadi pertunjukan yang paling terkenal
pada masa Sultan Raja Atmaja (1880-1899). Sementara pada masa Sultan Raja Sepuh
Aluda Tajul Arifin (1899-1942), kelompok Surma dan Gegesik selalu menjadi
pilihan utama sang sultan saat mengadakan acara istana.
“Kisah-kisah yang biasa diangkat dalam
pertunjukan wayang wong di Kasepuhan, di antaranya Babad Alas Amer, Somantri
Ngenger, Partakrama, Sampang Curiga, Brajamusti, dan Lakon Batara Kala.” kata
Iyus.
Awal abad ke-20, wayang wong Cirebon telah
dipertunjukkan di kalangan masyarakat umum sampai ke wilayah Priangan. Kelompok
pertama yang mengadakan pertunjukan di luar Cirebon adalah Ki Kempung dan
Ngabehi Natawiguna. Keduanya telah cukup lama mendirikan kelompok wayang wong
di Kasepuhan.
Dalam tulisannya, Javaanse
Volksvertoningen, Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk, Thomas
Pigeaud (ahli literatur Jawa dari Belanda) menyebut para pemain wayang wong
dari Cirebon telah menjadi kelompok professional yang berkeliling di tanah
Priangan pada awal tahun 1900.
“Dalam pertunjukannya mereka mendirikan bangsal
dari bambu dan memungut uang masuk dari penonton serta memenuhi perminataan
orang yang mengundang dalam acara kriyahan.” pungkas Pigeaud.
Daerah Sumedang, Bandung, Garut, Sukabumi dan
Sukapura (sekarang Tasikmalaya) menjadi tempat yang paling sering didatangi
kelompok wayang wong dari Cirebon. Masyarakat menyambut baik mereka, dan sangat
menyukai penampilannya.
Penampilan dalang yang paling ditunggu berasal
dari kelompok Wentar dan Koncer. Dalam melakukan pertunjukan, kelompok Wentar
lebih banyak diundang oleh kaum Menak. Sedangkan kelompok Koncer lebih
mengutamakan pertunjukan wayang wong di pelosok-pelosok karena lebih
dekat dengan kalangan rakyat biasa.
“Di Sukapura, pertunjukan wayang wong lebih
banyak menggambarkan tokoh-tokoh dari wayang Purwa, seperti Arjuna, Darmawulan,
Panji, dan sebagainya.” kata Pigeaud. Mulanya, pertunjukan wayang wong kelompok
Cirebon ini berbahasa Cirebon. Tapi selanjutnya bercampur dengan bahasa Sunda
setelah para menak Garut sering mengundang kelompok wayang itu dalam berbagai
acara. Mereka menyesuaikan dengan daerah yang dituju agar para penonton dapat
mengerti jalan cerita yang dibawakan.
Karena seringnya penampilan wayang wong
diadakan, banyak masyarakat yang kemudian mencoba mendirikan kelompok
pertunjukan tersebut. Seperti yang terjadi di Garut dan Sukabumi. Masyarakat di
sana mencoba peruntungannya dalam kesenian tersebut. Namun banyak yang tidak
beruntung dan berakhir dengan kegagalan.
Merujuk pada Sejarah Budaya Jawa, kisah Mahabarata dan Ramayana cukup
mempengaruhi dan menjadi lakon bagi sebagian besar seni pertunjukan Jawa, tidak
terkecuali pada pagelaran Wayang Kulit Purwa dan Wayang Wong.
Diantara kedua kisah diatas, kisah mahabarata yang paling menonjol dan
sering dijadikan runutan, terutama pada seputar konflik Pandawa dan Kurawa
dalam sengketa negeri Astina yang berujung pada peperangan Bharatayudha.
Dalam Kesenian Wayang Wong, keberadaan lakon dibedakan menjadi dua yakni
Lakon Pakem dan Lakon Carangan. Pakem adalah lakon yang berupa cerita
Mahabarata dan Ramayana. Adapun Carangan lebih berupa cerita karangan atau
fantasi yang masih ada kaitannya dengan kisah-kisah dalam lakon pakem. Dalam
hal ini, Wayang Wong yang digelar di Taman Sriwedari Surakarta biasanya lebih
mementaskan lakon pakem dan berusaha untuk memenuhi pakem pertunjukan wayang
secara ketat. Pentas seni Wayang Orang juga melahirkan seniman-seniman tari
yang menonjol, antara lain Rusman, Darsi, dan Surana dari Surakarta;
Sastrasabda dan Nartasabda dari Semarang; Samsu dan Kies Slamet dari Jakarta
Komentar
Posting Komentar